Rabu, 19 Mei 2010

Langkah Awal Mengubah Paradigma Pendidikan


Depdiknas akan membeli copyright buku pelajaran dan akan meng-upload ke Jardiknas sehingga dapat disebarluaskan secara bebas.

Pendidikan Indonesia memasuki era baru. Suatu upaya mengubah paradigma pendidikan di Indonesia tengah bergulir. Salah satu faktor yang akan menjadi media pengubah adalah teknologi informasi dan komunikasi (information and communication technology).

Mendiknas Bambang Sudibyo mengungkapkan dengan menggunakan TIK, ada kesempatan untuk mengubah paradigma pendidikan. ''Jika sebelumnya menggunakan paradigma pengajaran dimana guru bertindak sebagai subjek sementara murid bertindak sebagai objek. Kini harus mengarah ke paradigma pembelajaran dengan guru dan murid sama-sama bertindak sebagai subjek. Sehingga posisi keduanya sejajar,'' kata Mendiknas 'Semiloka Teknologi Maju untuk e-Pembelajaran', di Jakarta, pekan lalu.

Pengajaran menggunakan TIK, menjadikan sumber ilmu pengetahuan menjadi tidak terbatas. Setiap siswa dapat aktif mencari sumber ilmu pengetahuan lain. Bandingkan jika hanya mengandalkan guru yang memiliki ilmu pengetahuan yang terbatas.

Manajemen pendidikan bakal berfokus kepada dua pijakan. Yaitu penyediaan akses pendidikan yang cukup dan merata untuk seluruh masyarakat. Serta untuk memperbaiki kualitas, kompetisi, dan relevansi pendidikan terhadap kebutuhan masyarakat. ''Khusus untuk Indonesia, ditambah dengan upaya untuk memperbaiki tata kelola pemerintahan di bidang pendidikan,'' kata Bambang.

Pandangan serupa dilontarkan Chairman of the Board Intel Corporation Craig R Barrett. Ia menjelaskan, ada empat kunci untuk pendidikan saat ini. Yaitu akses ke teknologi, konektivitas, konten yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat lokal, dan guru yang memiliki kemampuan untuk menggunakan TIK. ''Untuk mempercepat akses teknologi dan pendidikan, Intel akan menanam modal sebesar 1 miliar dolar di seluruh dunia dalam kurun waktu lima tahun,'' kata Barret.

Intel juga mendukung program-program pendidikan. Seperti World Ahead, Program Pendidikan TIK, program 1:1 e-learning, Intel Teach, dan Intel Skool. Program 1:1 e-learning adalah metode dengan pelajar sebagai pusat dari pembelajaran. Ini dilakukan dengan memberikan laptop pribadi dan akses ke pengajar yang kompeten.

Selama 2007, Intel telah mendonasikan 725 unit lap top ke 33 sekolah. Targetnya, 4 ribu unit komputer akan diberikan selama kurun waktu empat tahun. Pada 2008, Intel juga menargetkan melatih 10 ribu guru di Indonesia melalui program Intel Teach. Tahun sebelumnya, Intel telah melatih 2 ribu guru.

Implementasi TIK di dunia pendidikan menjadi perhatian dunia internasional. World Summit on The Information Society (WSIS) yang diprakarsai International Telecommunication Union (ITU), membuat standar TIK pendidikan, untuk diterapkan selambat-lambatnya 2015. Standar dimaksud antara lain, 50 persen lembaga pendidikan dan pusat studi dan penelitian telah terhubung dengan TIK, tingkat e-literacy masyarakat sekurang-kurangnya 50 persen.

Indonesia, kata Mendiknas, berkomitmen memenuhi standar itu. ''Untuk memenuhi sasaran tersebut, setidaknya ada tujuh fase dikembangkan,'' ujar Bambang. Aksi ini dimulai tahun 2005 dengan pengembangan jaringan pendidikan nasional (Jardiknas) dan menetapkan pendidikan berbasis TIK secara massal.

Jardiknas
Hingga akhir 2007, telah tersambung 865 zona kantor dinas pendikan (OfficeNet) dan lebih dari 10 ribu node di zona sekolah (SchoolNet), 319 zona perguruan tinggi (Inherent) yang terdiri dari 83 node perguruan tinggi negeri, 200 node perguruan tinggi swasta, dan 36 node Unit Pendidikan Belajar Jarak Jauh Universitas Terbuka (UPBJJ) yang secara keseluruhan melayani sekitar 60 persen populasi mahasiswa.

Pada 2009 Jardiknas diharapkan menjangkau 1.489 (55 persen) node di zona perguruan tinggi, 27.297 (9,3 persen) node di zone sekolah, dan 10 ribu (0,3 persen) node di zona personal (StudentNet, TeacherNet, dan LectureNet).

Bersamaan dengan masuknya TIK ke dalam kurikulum pendidikan, berlangsung fase penyediaan sumber daya komputansi. Saat ini terdapat 4.413 lab komputer (44,6 persen) dari 9.897 SMA, 4.760 lab (70 persen) dari 6.800 SMK, dan 7.643 lab (31 persen) dari 24.686 SMP. Diperkirakan, pada 2009 jumlah komputer yang terhubung di Jardiknas akan mencapai lebih dari 1,57 juta unit.

Fase penyiapan sumber daya manusia dimulai pada tahun 2006, setahun kemudian diselenggarakan pelatihan Jardiknas untuk kepala sekolah, guru, tata usaha, dan pustakawan yang diikuti 38 ribu peserta dan menjangkau 216 kabupaten/kota. Kami menerapkan sistem multilevel training. Dengan begitu, diharapkan pada tahun ini akan terdapat 66 senior trainer, 6.600 master trainer, dan 66 ribu participant teacher, ungkap Mendiknas.

Sementara fase mobilisasi konten merupakan gerakan penting setelah infrastruktur. Dengan kapasitas bandwith 3,9 Gbps dan total kapasitas penyimpanan data pusat 15 terabyte, pada tahun 2009 Jardiknas mampu menampung 2 juta modul dalam bentuk teks dan grafik berukuran 5-50 MB per modul. Atau 50 ribu modul dalam bentuk video durasi 30 menit.

Fase kolaborasi konten, merupakan konsekuen logis ketika Jardiknas telah menjadi pusat sumber belajar terbesar di Indonesia. Yang sedang dikembangkan Depdiknas sekarang ini adalah e-book. Depdiknas akan membeli copyright buku pelajaran dan akan di-upload ke Jardiknas, sehingga buku dapat didownload dan disebarluaskan secara bebas.

'Buku' ini bahkan dapat dijualbelikan. Syaratnya, harga jual buku tersebut tidak boleh melewati rentang harga yang ditetapkan Depdiknas. Harga buku tersebut sekitar sepertiga harga di pasaran. Yaitu antara Rp 4.500 sampai Rp 14 ribu. Sampai saat ini, sudah ada 37 copyrights yang kami beli, jelas Mendiknas.

Komputer Murah
Implementasi TIK di dunia pendidikan mendapat dukungan pihak lain. Jumat, Intel Indonesia dan IM2 menandatangani kerjasama pengadaan komputer dengan harga terjangkau dan akses internet kecepatan tinggi di sekolah-sekolah. Tahap awal, dipilih tiga sekolah sebagai pilot project selama tiga bulan, yakni SD Labschool, Al-Azhar dan SD Penabur.

''Ke depannya, kami akan kembangkan di 10 kota besar di Indonesia, seperti Surabaya, Semarang, Bandung dan Medan. Pilot Project tersebut dilakukan untuk mencari model pembelajaran yang paling tepat menggunakan perangkat yang ada untuk kemudian dicopi ke sekolah-sekolah lain di 10 kota tersebut. Proyek ini rencananya akan berlangsung selama tiga tahun, '' ungkap Direktur Utama IM2, Indar Atmanto.

Country Manager Intel untuk Indonesia, Budi Wahyu Jati menambahkan bahwa komputer dengan harga terjangkau dan akses internet cepat harus bisa tersedia untuk semua orang. ''Infrastruktur broadband yang kuat sangat penting untuk meningkatkan kemampuan Indonesia dalam berkompetisi secara global,'' kata Budi.

Namun, bukan berarti sekolah tidak mengeluarkan biaya untuk dapat menikmati fasilitas ini. Meskipun harga yang ditawarkan merupakan harga khusus sektor pendidikan, sekolah tetap harus merogoh kocek untuk membayar perangkat hardware yang dapat diangsur hingga 12 kali dan membayar tagihan internet setiap bulannya.

''Kolaborasi yang dilakukan dengan IM2 ini merupakan salah satu upaya Intel untuk mencapai pertumbuhan dua kali lipat dari pertumbuhan rata-rata jumlah pengguna akses broadband wireless sebelum 2012,'' kata Budi.

Sumber: Republika Online
http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=334461&kat_id=151
Read More..
Diposkan oleh: Henny Slalu Semangat

Kolaborasi Gaya Hidup Remaja dengan Sastra, Media dan Internet

Sastra bagi remaja perkotaan bukanlah sastra yang terwakili oleh para sastrawan dari generasi Putu Wijaya sampai Linda Christanty sekalipun. Sastra bagi remaja perkotaan juga bukanlah sastra koran, majalah sastra seperti Horison, maupun jurnal-jurnal kebudayaan yang memuat cerpen, puisi, dan esai-esai serius. Sastra remaja perkotaan adalah sastra pergaulan yang terekspresikan dalam medium-medium baru yang melekat pada gaya hidup mereka. Sastra remaja perkotaan saat ini adalah sesuatu yang sama sekali terlepas dari mata rantai sejarah sastra sebelumnya. Sejarah sastra yang saya maksud adalah sejarah sastra resmi versi para kritikus, teoritisi, akademisi dan para sastrawan sendiri. Sejarah sastra resmi ini sama halnya dengan sejarah pada umumnya yang berpihak pada kepentingan kekuasaan tertentu dengan muatan subjektivitas yang juga kental di dalam historiografi-nya. Dalam konteks remaja perkotaan secara riil, sebenarnya apa yang disebut mainstream sastra itu bahkan tidak eksis. Ada gap yang sangat jauh antara sastra dan kehidupan riil remaja perkotaan sekarang.

Medium-medium ekspresi kesusasteraan dalam gaya hidup remaja perkotaan sekarang kurang lebih merupakan sebuah dekonstruksi terhadap medium ekspresi sebelumnya yang terjadi sebagai akibat dari perkembangan teknologi. Pretensi menulis sebuah karya sastra tidak lagi dilandasi oleh motivasi mimpi-mimpi besar, ide-ide pemberontakan, maupun pemikiran-pemikiran jenial untuk mengubah dunia. Remaja perkotaan sekarang cukup menulis di blog mereka tentang hal-hal personal keseharian yang remeh-temeh, mengirim sms romantis pada pacarnya, atau menciptakan syair lagu cinta yang juga sederhana saja. Itulah medium-medium ekspresi sastra remaja perkotaan sekarang. Di sisi lain para penulis generasi “tua” tetap asyik dengan mimpi-mimpi, keyakinan, arogansi, dan ide-ide besar untuk melahirkan sebuah magnum opus dalam “sejarah” kepenulisan mereka. Tanpa sadar, gap yang ada semakin curam dan dalam, mengingatkan kita pada kritik-kritik berpuluh tahun silam tentang ivory tower-nya para sastrawan dan seniman secara keseluruhan.

Tentu masalahnya memang tak bisa dilepaskan dari “nilai-nilai, kriteria, teori-teori” tentang apa yang disebut dan dianggap sebagai “sastra”. Hal ini pun adalah persoalan lama yang terus menggantung tanpa penyelesaian. Bagi sejumlah sastrawan, sebut misalnya Seno Gumira Ajidarma, Sapardi Djoko Damono, atau Budi Darma, apa yang disebut dan dianggap sebagai “kriteria dan nilai-nilai” sastra adalah relatif dan subjektif. Pandangan ini memberi ruang kebebasan yang luas untuk menganggap dan menyebut apa itu karya sastra. Di lain pihak, masih banyak sastrawan dan kritikus yang berpegang pada teori-teori baku yang entah apa atau entah yang mana untuk mengategorisasikan sebuah karya sebagai “sastra”. Pandangan inilah yang kemudian mungkin membuat buku-buku semacam ensiklopedi sastra Indonesia tidak pernah lengkap dan utuh. Di buku-buku itu pastilah tidak pernah ada nama Agni Amorita Dewi misalnya, penulis cerpen remaja generasi tahun 80-an yang kerap mengisi lembar cerpen di berbagai majalah remaja dan pernah pula menjadi pemenang lomba cerber Femina. Di buku-buku itu pastilah tidak akan ada nama Raditya Dika atau Aditya Mulya, dua novelis muda masa kini yang penggemarnya menyebar di kalangan remaja perkotaan seluruh Indonesia. Dan di buku-buku itu juga tidak pernah ada nama FX Rudy Gunawan, penulis cerpen, esai, dan novel yang karya-karyanya juga kerap dimuat di sastra koran (non-Kompas) dan puluhan bukunya telah diterbitkan.

Ini adalah sebuah stagnansi yang ironis. Generasi remaja sekarang merasa tidak ada perlunya membaca karya sastra adiluhung yang tidak connect dengan kehidupan riil mereka. Telah terjadi sebuah perubahan paradigma yang tidak pernah diantisipasi oleh para sastrawan. Program sastra masuk sekolah mungkin merupakan sebuah upaya yang pernah dilakukan untuk menjembatani gap atau mencairkan stagnansi ini. Tapi karena frame yang dibawa adalah “mindset lama” dan yang dilakukan dengan “cara lama” pula, maka bisa dikatakan upaya ini kurang membuahkan hasil. Sejumlah SMA yang didatangi mungkin jadi lebih mengenal sastrawan-sastrawan dan karya-karyanya, tapi hanya sebatas itulah hasilnya. Padahal yang dibutuhkan sekarang adalah menciptakan generasi baru pecinta sastra dan menumbuhkan iklim atau atmosfir yang subur bagi lahirnya generasi penulis sastra yang baru, segar, dan sama sekali berbeda.

Dalam gaya hidup remaja perkotaan sekarang, film dan musiklah yang paling populer sebagai bagian dari kehidupan kesenian dan kebudayaan mereka. Ini terbukti dari suksesnya novel-novel adaptasi film yang digagas dan diterbitkan oleh penerbit spesialis novel remaja, GagasMedia. Hampir semua novel adaptasi film-film nasional terjual puluhan ribu kopi dalam hitungan bulan saja. Genre novel ini telah berhasil menjadi bagian dari gaya hidup remaja perkotaan berkat kolaborasi antara dunia film dan dunia sastra. Kolaborasi berarti sebuah persinggungan yang nyata dengan kehidupan. Kolaborasi menjadi sebuah pola untuk mencairkan stagnansi dan melahirkan karya yang “membumi”. Sebuah contoh kolaborasi ideal dari dunia musik adalah grup rock gaek Santana yang berkolaborasi dengan penyanyi remaja popular dalam tiga album terakhir mereka yang dirilis beberapa tahun belakangan. Kesadaran Santana sebagai grup yang melegenda untuk tetap tune in dengan perkembangan zaman sungguh sebuah kerendahan hati yang patut diteladani di dunia sastra kita.

Sastra seharusnya menjadi bagian dari gaya hidup remaja perkotaan karena sastra seharusnya menjadi bagian dari kehidupan nyata termasuk kehidupan sehari-hari dengan segala tetek-bengek persoalannya yang mungkin cengeng, menyebalkan, dan tidak mutu. Tapi atas dasar apa seseorang berhak men-judge seperti itu terhadap kenyataan hidup yang nyata? Atas dasar apa seseorang atau sejumlah orang berhak menghakimi sebuah karya? Tiada satu dasar pun yang bisa membenarkan sikap-sikap seperti itu. Sebaliknya, justru pengikisan terhadap sikap-sikap seperti inilah yang akan mampu mengintegrasikan sastra dalam gaya hidup remaja perkotaan.


Gaya Hidup Remaja dan Media


Semua jenis media, baik itu Internet, televisi, film, musik, maupun majalah, berpengaruh besar terhadap gaya hidup kita masa kini. Kebanyakan media menginformasikan tentang gaya hidup remaja kota, yang notabene meniru gaya hidup modern. Maka, tidak heran jika kita digiring menjadi sangat konsumtif.

Masa remaja adalah masa pencarian identitas. Kita sebagai remaja mulai mencari gaya hidup yang pas dan sesuai dengan selera. Kita juga mulai mencari seorang idola atau tokoh identifikasi yang bisa dijadikan panutan, baik dalam pencarian gaya hidup, gaya bicara, penampilan, dan lain-lain. Imbasnya banyak kita jumpai teman-teman dengan berbagai atributnya yang sebenarnya mereka hanya meniru-niru saja. Sadar tidak sih kalau saat ini banyak sekali sinetron remaja yang menawarkan life style baru? Para bintang muda yang digandrungi ternyata mampu mengubah style remaja.

Pada masa remaja pengaruh idola memang sangat kuat. Idola atau tokoh akan mengendalikan hidup kita yang mungkin tanpa kita sadari. Nah, di sinilah media

Namun, apakah benar bahwa media sedemikian buruk pengaruhnya bagi remaja? Sebenarnya tidak seratus persen demikian. Hal ini menjadi tantangan bagi kita untuk memilah-milah atau selektif terhadap pesan yang disampaikan oleh media. Karena, tidak bisa dimungkiri bahwa keberadaan media mutlak diperlukan. Karena, pada suatu sisi media memungkinkan kita untuk tahu beragam informasi, berita, penemuan, dan hal-hal baru. Atau bisa disimpulkan bahwa sebenarnya hadirnya media berpengaruh positif dan juga negatif.

Keberadaan media memang tidak lepas dari kepentingan pasar. Dengan demikian, kalau kita tidak selektif terhadap pesan media, kita akan menjadi korban media. tidak salah memang ketika kita membeli sebuah produk berdasarkan informasi dari media. Namun, yang perlu diingat, seberapa perlu produk yang kita beli itu bagi diri kita. Apakah kita memang membutuhkan produk itu ataukah karena kita terpengaruh oleh iming-iming yang disampaikan oleh media.


Remaja : Jangan memaksakan diri

tidak ada salahnya memang untuk tampil menarik seperti yang banyak diiklankan di media, dengan sebagian produk yang ditawarkan untuk membantu mewujudkan impian itu. Juga merupakan sesuatu yang wajar untuk pergi berbelanja membeli barang-barang kesukaan. Namun, yang mesti kita ingat, jangan memaksakan diri. Kalau kita ikuti perkembangan mode pakaian, misalnya, kalau tidak pantas, ya tidak usah dibeli, sebaiknya kita sesuaikan dengan diri kita. Singkatnya sih tidak harus mengikuti tren yang ada, tetapi yang penting nyaman di tubuh kita. Pokoknya yang penting kita percaya diri, nyaman dengan diri sendiri, menerima apa adanya, love yourself. Bahkan, akan lebih oke lagi kalau kita bisa menunjukkan kelebihan-kelebihan kita yang lain.

Nah, jelaskan? Media memang punya dampak positif dan negatif. Kita harus arif menyikapinya. Cara gampang adalah mengenali diri kita sendiri dan mengenali apa yang menurut kita sangat penting. Mengenali apa yang kita sukai, apa yang bisa kita toleransi dari orang lain dan hal-hal yang membuat kita merasa mantap. Kalau setelah kita renungkan semua berbeda dari apa yang benar versi media, itu artinya kita harus segera ambil strategi. So, jangan menelan secara mentah-mentah apa yang diinformasikan media sehingga tidak begitu saja menjadi korban media.

Diposkan oleh: Henny Slalu Semangat

Senin, 17 Mei 2010

E-LEARNING SEBAGAI SOLUSI PERMASALAHAN PENDIDIKAN INDONESIA

Melalui E-Learning, pertemuan antara guru dan murid tidak harus dilakukan secara fisik. Murid dapat mempelajari materi pelajaran secara online dari Internet dan mengerjakan tugas-tugas maupun soal-soal ujian secara online pula di Internet. Siswa dapat berkomunikasi dengan para pengajar melalui email, video conference, chatting, dan forum online lainnya. Hasil ujian dan nilai tugas-tugas pun dapat dilihat secara online.

Namun di sisi lain, sistem belajar dengan E-Learning sendiri membutuhkan sarana infrastruktur yang tidaklah murah. Disamping itu juga E-Learning masih terkendala pada mahalnya biaya komunikasi, terutama sambungan Internet di Indonesia. Itulah mengapa E-Learning saat ini masih merupakan konsumsi sekolah-sekolah dan perguruan tinggi papan atas saja.

Di Indonesia, jangkauan E-Learning justru lebih banyak dinikmati para siswa dan mahasiswa di kota-kota besar. Padahal justru sebenarnya sistem belajar E-learning mungkin akan lebih bermanfaat jika dimanfaatkan untuk menjangkau anak-anak yang hidup di belantara Papua, ataupun di hutan rimbun Kalimantan. Mungkin kita dapat membayangkan sejenak jika anak-anak di pedalaman ini dapat diajari cara bersekolah dengan E-Learning, sehingga tidak terkendala dengan terbatasnya kedatangan guru bantu maupun jauhnya jarak tempuh ke sekolah terdekat di suatu pedalaman, mungkin kekahawatiran akan kepincangan pemerataan pendidikan dapat dikurangi.

Memang, wacana pengembangan E-Learning sebagai solusi untuk mengatasi masalah pemerataan pendidikan di Indonesia pastilah mempunyai banyak kendala yang harus dipertimbangkan, mulai dari besarnya biaya pengadaan sarana infrastruktur, mahalnya biaya sambungan Internet, pembuatan silabus, penyesuaian kurikulum, dan masih banyak aspek lainnya juga, selain tentunya aspek kultur budaya dan sosiologi yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Namun setidaknya dari sini kita bisa melihat, bahwa dari sekian banyak hasil pengembangan teknologi informasi yang ada saat ini, E-Learning merupakan salah satu bentuk pengembangan teknologi informasi di bidang pendidikan yang sebenarnya dapat memberikan solusi bagi pemecahan permasalahan pendidikan di Indonesia.

Diakses dari: cipto-wardoyo.blogspot.com

Diposkan oleh: Henny Slalu Semangat